Di Tangan Sisilia, Benang Lusuh Menjelma Harapan dan Warisan Leluhur

Randy Ikas
01 Mei 2025 77 x Inspirasi
Di Tangan Sisilia, Benang Lusuh Menjelma Harapan dan
Warisan Leluhur
Di sudut terpencil Nusa Tenggara Timur, di bawah terik
matahari Amfoang yang menyengat, sebuah melodi ritmis terdengar dari sebuah
rumah sederhana. Bukan alunan musik modern, melainkan bunyi tak-tok kayu
yang beradu, sebuah simfoni kuno yang lahir dari tangan seorang gadis belia.
Dialah Sisilia Mardiana Pora Lede, siswi SMA Negeri 2 Amfoang Timur, yang di
tangannya, masa depan tradisi dan harapan keluarga sedang ditenun helai demi
helai.
Setiap hari, ketika teman-temannya melepas lelah setelah
seharian di sekolah, perjuangan Sisilia justru baru dimulai. Seragam putih
abu-abunya berganti, dan ia duduk bersimpuh di hadapan pasunium, alat
tenun warisan yang menjadi saksi bisu ketekunannya. Baginya, ini bukan sekadar
hobi pengisi waktu luang; ini adalah ritual, sebuah panggilan jiwa.
Lihatlah jemarinya yang lincah menari. Jari-jari yang sama
yang memegang pena untuk menulis rumus fisika, kini dengan mahir menahan laju
benang dengan nekan, membentuk jiwa pada corak dengan sial dan kuat,
lalu memadatkan setiap motif dengan hentakan ut yang mantap. Setiap
helai benang, yang warnanya ia pilih dengan intuisi seorang seniman, bukanlah
sekadar material. Itu adalah kanvas bagi mimpinya, benang-benang yang akan
menjelma menjadi syal hangat, tais (sarung) yang agung, hingga betik
(selimut) yang memeluk.
"Untuk syal, butuh waktu seminggu tanpa henti,"
bisiknya, matanya tak lepas dari pola rumit di hadapannya. "Kalau sarung,
bisa dua minggu. Selimut paling lama, sebulan penuh kesabaran."
Waktu yang ia curahkan adalah pengorbanan. Di usianya yang
muda, ia merelakan waktu bermain demi sebuah mahakarya. Namun, pengorbanan itu
melahirkan keajaiban. Dari alat tenun sederhananya, lahir kain-kain yang tak
hanya indah dipandang, tetapi juga menyimpan denyut nadi kebudayaan Amfoang.
Namun, api semangat Sisilia tak hanya menyala untuk dirinya
sendiri. Di tengah masyarakat yang perlahan mulai melupakan seni leluhur ini,
ia menjelma menjadi suluh. Ia tak segan membuka pintu rumahnya, berbagi ilmu
dengan siapa pun yang hatinya tergerak untuk belajar. Dengan kesabaran seorang
guru, ia menuntun tangan-tangan yang kaku, mengajarkan mereka bahasa benang dan
motif, mengubah rasa penasaran menjadi keterampilan yang bisa menghidupi. Ia
tidak hanya melestarikan budaya, ia sedang menanam benih kemandirian ekonomi di
lingkungannya.
Di setiap gulungan kain pada monas, Sisilia
menitipkan sebuah doa. Sebuah harapan besar agar tenunannya tak hanya menjadi
pajangan, tetapi menjadi penopang ekonomi keluarganya. Ia membayangkan karya
tangannya melintasi batas desanya, dikenal, dan dihargai, membuktikan bahwa
tradisi adalah harta karun yang tak ternilai.
Kisah Sisilia adalah sebuah perlawanan senyap terhadap zaman yang terus berubah. Ia adalah penjaga api tradisi, pahlawan ekonomi kreatif di usianya yang belia. Di tangannya, sehelai benang bukan lagi sekadar benang. Ia adalah bukti hidup bahwa warisan leluhur, jika dirawat dengan cinta dan ketekunan, akan selalu menemukan jalannya untuk bersinar, merajut masa depan yang lebih cerah bagi dirinya dan komunitasnya.